Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Khutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 29 Dzulhijjah 1432 / 25 November 2011
KHUTBAH PERTAMA:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…
Cinta merupakan sesuatu yang membutuhkan pembuktian dan memiliki pertanda, agar cinta tersebut tidak menjadi klaim dan pengakuan kosong belaka. Di antara pertanda besar kecintaan seseorang kepada sesuatu, ia akan sering menyebut dan memujinya.
Cinta kepada Rasul shallallahu’alaihiwasallam adalah merupakan salah satu amalan yang diwajibkan dalam agama kita, bahkan kecintaan tersebut harus mengalahkan kecintaan kepada seluruh insan selain beliau, siapapun ia.
Cinta Rasul shallallahu’alaihiwasallam ini membutuhkan pembuktian dan memiliki pertanda. Baik itu melalui lisan, hati maupun amalan keseharian seorang hamba. Di antara pertanda terbesarnya dalam lisan, seorang insan tidak akan membiarkan hari-harinya lewat begitu saja tanpa menyebut nama beliau, mendoakan dan memujinya. Doa serta pujian tersebut, lazim diistilahkan dalam bahasa syariat dengan shalawat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada beliau”. QS. Al-Ahzab: 56.
Maksud ayat ini, kata Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya[1], “Allah ta’ala memberitahu para hamba-Nya akan kedudukan Rasulullah di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Di mana Allah memuji beliau di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau. Lalu Allah ta’ala memerintahkan kepada para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam kepada beliau; agar berpadu pujian para penghuni langit dan para penghuni bumi semuanya untuk beliau”.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati
Membaca shalawat kepada Rasul shallallahu’alaihiwasallam merupakan suatu ibadah mulia yang bertabur pahala dan keistimewaan. Sehingga amat merugilah orang yang tidak memperbanyak amalan ini semasa hidupnya. Di antara ganjaran istimewa yang disediakan untuk mereka yang gemar membaca shalawat:
Keistimewaan pertama: Orang yang bershalawat dijanjikan pahala berlipat ganda
Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً؛ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا”
“Bershalawatlah kalian padaku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat padaku satu kali niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali”. HR. Muslim (I/288-289 no. 384) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubarakfuri menjelaskan, bahwa maksud dari shalawat Allah untuk para hamba-Nya adalah: Allah akan merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.
Keistimewaan kedua: Orang yang bershalawat akan dihapuskan banyak dosanya dan ditinggikan derajatnya
Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً؛ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ”
“Barang siapa bershalawat padaku sekali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali, akan dihapuskan sepuluh dosanya dan akan diangkat derajatnya sepuluh tingkatan”. HR. An-Nasa’i dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.
Subhanallah, dengan amalan yang ringan, seorang hamba bisa mengurangi tumpukan dosa yang membebaninya, juga meninggikan derajatnya di surga yang luasnya melebihi langit dan bumi. Betapa besar karunia dan belas kasih Allah kepada para hamba-Nya. Namun amat disayangkan kebanyakan manusia tidak menyadarinya!
Keistimewaan ketiga: Shalawat merupakan salah satu sebab terkabulnya doa hamba
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Setiap doa akan terhalang (untuk dikabulkan) hingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”. HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu memperjelas maksud hadits di atas,
“إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، لَا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Sesungguhnya doa itu akan tertahan di antara langit dan bumi, tidak akan diangkat; hingga engkau bershalawat kepada Nabimu shallallahu’alaihiwasallam”. Diriwayatkan oleh Tirmidzy dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Jadi setiap doa yang dilantunkan hamba tidak akan diangkat kehadapan Allah tabaraka wa ta’ala sampai disertai dengan shalawat. Sebab shalawat merupakan pengantar terkabulnya sebuah doa. Demikian keterangan al-Munawy dalam Faidh al-Qadîr.
Karena itu, para ulama telah berijma’, sebagaimana dinukil Imam Nawawy dalam al-Adzkâr, bahwa sebelum berdoa disunnahkan bagi seorang muslim untuk memanjatkan pujian kepada Allah ta’ala dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
Keistimewaan keempat: Shalawat adalah salah satu sarana untuk meraih syafa’at Rasul shallallahu’alaihiwasallam
Dalam Shahih Muslim disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ، ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ؛ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ”
Dari Abdullah bin ’Amr radhiyallahu’anhuma, bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu’alaih wasallam bersabda, ”Jika kalian mendengar muadzin maka tirukanlah ucapannya, kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya orang yang bershalawat padaku sekali; maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Lalu mintakanlah kepada Allah wasilah untukku, karena wasilah adalah sebuah tempat di surga yang tidak akan dikaruniakan melainkan kepada salah satu hamba Allah. Dan aku berharap bahwa akulah hamba tersebut. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia akan meraih syafa’at”.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…
Satu saja dari berbagai keutamaan di atas telah cukup untuk memotivasi kita guna memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Bagaimana halnya jika masih banyak keutamaan lain selain apa yang tersebut di atas. Maka perbanyaklah membaca shalawat kepada Sayyidina Muhammad shallallahu’alaihiwasallam, apalagi di hari istimewa ini; hari Jum’at.
Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ … فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ”
“Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling istimewa adalah hari Jum’at … Maka perbanyaklah membaca shalawat untukku di dalamnya”. HR. Abu Dawud dari Aus bin Aus radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban.
أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولجميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
KHUTBAH KEDUA:
الحمد لله الواحد القهار، الرحيمِ الغفار، أحمده تعالى على فضله المدرار، وأشكره على نعمه الغِزار، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العزيز الجبار، وأشهد أن نبينا محمداً عبده ورسوله المصطفى المختار، صلى الله عليه وعلى آله الطيبين الأطهار، وإخونه الأبرار، وأصحابه الأخيار، ومن تبعهم بإحسان ما تعاقب الليل والنهار
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Sebagaimana telah maklum, berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah juga keterangan para ulama Islam, bahwa setiap ibadah, agar diterima di sisi Allah jalla wa ‘ala harus memenuhi dua syarat. Yakni; menjalankannya secara ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.[2]
Berhubung shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allah ‘azza wa jalla; harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu’alaihiwasallam.
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
– Semata-mata mengharapkan dari amalan tersebut ridha Allah ta’ala dan pahala dari-Nya. Bukan dalam rangka unjuk gigi kekuatan massa atau menonjolkan fanatisme golongan.
– Redaksi shalawat yang dilantunkan tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain: tidak berbau kesyirikan dan kekufuran, semisal istighatsah kepada selain Allah, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak prerogatif Allah kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan atas redaksi shalawat buatan selain Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Adapun jika redaksi shalawat itu bersumber dari sosok yang maksum shallallahu’alaihiwasallam, maka ini di luar konteks pembicaraan kita; sebab tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan.
Adapun meneladani Rasul shallallahu’alaihiwasallam dalam bershalawat maknanya adalah:
– Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap ekstrim) dan lafaz syirik.
– Bershalawat pada momen-momen yang beliau syariatkan.[3]
– Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Ahzab: 56 dan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, tersebut di atas.
– Tidak menambahkan aturan-aturan baru dalam pembacaan shalawat, yang sama sekali tidak ada landasannya dari al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah (909-974 H) menasehatkan, bahwa pengagungan terhadap Nabi shallallahu’alaihiwasallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.[4]
ألا وصلوا وسلموا -رحمكم الله- على الهادي البشير، والسراج المنير، كما أمركم بذلك اللطيف الخبير؛ فقال في محكم التنـزيل: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 29 Dzulhijjah 1432 / 25 November 2011
[1] (VI/457).
[2] Baca antara lain: Tafsîr ar-Râzy (XX/180) dan Tafsîr Ibn Katsîr (I/385).
[3] Dalam kitabnya Jalâ’ al-Afhâm (hal. 380-520) Ibn al-Qayyim menyebutkan 41 momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul shallallahu’alaihiwasallam.
[4] Periksa: Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hal. 64) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah ‘Ardh wa Taqwîm fî Dhau’I ‘Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi’ (hal. 450).